the roots of education are bitter, but the fruit is sweet ~aristotle~

Sunday, May 26, 2013

"Prahara" Pengunjung Waisak

Sebelum teman-teman melanjutkan membaca ini, pastikan teman-teman mampu untuk berpikir dewasa, out of the box, dan mampu melihat gambaran besar dari sesuatu. Bersikaplah yang santun dalam berpendapat dan pastikan pendapat anda muncul bukan karena iri hati, dengki, dendam, dan rasa tertindas. Selamat membaca. Oiya, artikel ini membahas prosesi Waisak di Borobudur, bukan prosesi sebelumnya.

"Prahara" Pengunjung Waisak

Sekilas perjalanan kami

Waisak, seperti telah diketahui bersama, adalah sebuah hari besar bagi para umat Buddha. Para Buddhist memperingati hari ini untuk beribadah dan mendalami kembali makna kedamaian dalam Buddha. Salah satu prosesi acara Waisak yang terkenal adalah yang diadakan di Borobudur. Bagi umat Buddha, perayaan di Borobudur adalah semacam yang terbesar di Indonesia. ribuan penganut Buddha datang dari penjuru untuk menghadiri prosesi ini. Dan, bagi umat non-Buddhist (entah itu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, maupun Konghucu) yang menarik dari acara ini tentu prosesi penerbangan lampion. Tidak terbantahkan.

Prosesi penerbangan lampion menarik hati ribuan orang non-Buddhist tak hanya di Indonesia, bahkan juga di luar negeri. Ini terbukti dari banyaknya turis asing yang datang ke acara ini. Mulai dari turis dari negara-negara di Eropa, Asia, Amerika, dan Australia. Namun, tentu yang paling banyak adalah warga domestik. Tak terkecuali saya, Ucen, Irsyad, Aji, Randy, dan Dinda. Tak hanya sekedar melihat lampion, beberapa diantara kami, sama sekali belum pernah ke Borobudur.

Kami berangkat pukul 5 sore hari dan sampai sekitar satu setengah jam kemudian di area luar Candi. Sepanjang jalan memang sudah terlihat bahwa cuaca sedang tidak ramah, mendung, gelap dan terkadang gerimis. Sempat terpikir (dan terucap) untuk membatalkan rencana dan makan-makan di Artos saja. Namun, untuk "memuaskan rasa penasaran" kami terhadap Borobudur dan mi ayam, kami pun memutuskan untuk kembali lanjut ke Candi.

Cuaca di saat kami datang meskipun mendung, namun belum ada tanda-tanda hujan deras. Kami masuk dari jalur sebelah kiri, entah pintu arah mana, saya ngga tahu. Yang pasti diarah situ banyak orang jalan dan ngantri, jadi kami ikut arus aja. Saat ngantri ini juga uda keliatan kalo yang dateng ini punya tujuan yang sama dengan kami, mau liat lampion. juga udah banyak yang niat mau ambil foto dengan kamera canggih yang saya ga tau gimana cara ngejepretnya. Antrian masuk ke gerbang aja udah puluhan meter. Masuk ke gerbangnya impit-impitan kayak mau ambil BLT di tipi-tipi. Belum pemeriksaan metal detector ato apa namanya yang saya yakin error lantaran kebanyakan yang lewat hahaha.. kidding. Nah mulai dari sinilah hujan turun, gerimis..gerimis...deres.

Semakin masuk ke arah Borobudur, saya semakin ngerasa bersalah ada di situ. Bukan karena merasa ngeganggu prosesi acara, engga. Tapi karena, saya (dan kami) merasa ada di dalam lingkungan orang-orang Indonesia yang "ngga bisa menempatkan diri". Contoh yang paling nyata adalah peristiwa salah kostum. 

Kebanyakan saltum yang terjadi adalah cewek yang pakai HOT PANTS. Kok salah? Silakan direlatif-kan salah atau benarnya. Cuma aneh aja buat saya ngeliat, pertama, Waisak itu acara keagamaan, meskipun kesana bukan untuk ikut beribadah tapi kan bisa menghormati dengan berpakaian sopan? Emang HOTPANTS ga sopan? pikiro dewe cuk. Kedua, Borobudur itu alam terbuka, banyak pohon, banyak kemungkinan yang bisa terjadi, jangan salahin Borobudur ya kalo ntar lu ngegeletak di rumah sakit gegara digigit serangga -____-. Ketiga, acaranya kan malam hari, ngga dingin po? Ya ngga lah, kan sama mas pacar (jangan heran kalo banyak fenomena cowo cewe pelukan disana meski lu mestinya heran), terus besoknya tepar gegara masuk angin, salahin hotpants lu mbak! Keempat, itu paha apa besi abis di las woyy!

Saltum yang kedua ya biasalah, baju yang dalemannya nerawang kek X-Ray, You can see My Ketiak, Sepatu hak tinggi. Untung aja ngga ada yang bawa balon terus ngerayain ulang tahun pacarnya di tengah tengah Waisak.

Yah manusia mungkin bisa lupa bisa senewen..

Hal kedua yang gw ngerasa ngeganggu banget hampir sama dengan yang ditulis di OtherVision, soal banyaknya manusia yang bawa kamera. Entah berapa megapixel ga tau deh. Wajar kalo ngeliat mereka yang ngebawa kamera sambil nunjukin ID Pers ke polisi yang jaga, emang tugas mereka. Eh, yang aneh itu, ratusan pemegang kamera tanpa ID. Ini yang gw liat seperti rombongan orang mau ikut kompetisi lomba objek foto gitu.

Oh mungkin sekedar hobi dan emang diperbolehkan panitia, sesaat gw biasa aja ngeliat semua itu. Tapi kembali yang bikin hati jadi "opo thoooo ikiii cuuuuuukk" adalah waktu ngeliat anak-anak kecil yang gw yakin belum lulus SD, megang kamera SLR ato DSLR seharga kira-kira 7jutaan duduk anteng dan moto Borobudur. Ini udah ga ada yang minat jadi akuntan po? Semuanya dimodalin SLR begini. Seusia mereka, boleh megang tustel aja gw udah bangga banget men!

Terus dari situ kita ngerapat ke tenda, yang sebelumnya kita kira itu tempat pengunjung, yaudah sekalian ngiyup dari ujan. Sampe disana ya kaget aja yang ada. Puluhan orang dengan kamera, tripod, flash ato apalah namanya sparepart kamera yang gw juga ngga tau buat apa gunanya. Engga salah si emang. Tapi jumlahnya yang banyak banget plus anak kecil yang ngotak-ngatik kamera bikin gw kembali ke kesimpulan gw yang pertama, ini kompetisi fotografi.

Setelah setengah jam gw disana, duduk, merhatiin orang-orang sekitar, cewe-cewe cantik, cewe-cewe salah kostum, fotografer cilik, backpacker, hipster fotografer, orang-orang alay, paha putih, paha mulus, paha besar, paha bekas las panci, berlengan, tanpa lengan, rok panjang, rok mini, ngerokok, pacaran, dan lain sebagainya, kita ngikutin "PETUNJUK DARI POLISI YANG JAGA" --> ikutin jalan ini aja mas, nanti ada TEMPATNYA disana. Yaudah kita ikutin aja, dan emang benar, ada jalan naik dan banyak orang disana yang udah ambil posisi W. Ada yang udah berjas hujan, ada yang udah payungan, ada yang udah berpasangan, ada yang udah ngegelayut, ada yang udah tiduran, pingsan. Gw cuma tau disana engga ada polisi yang ngatur-ngatur barisan, tanda/petunjuk apapun lah. Cuma ada barisan orang dan karena posisinya udah lumayan enak, kita berhenti di jalan batako (atau aspal, gw ngga keliatan, gelep). Dan keujanan.

Setelah Bhante yang memberikan ceramah keagamaan dan beberapa doa dibacain, kami mutusin buat pulang karena udah yakin meski ngga diumumin lampion ga bakal naik dengan cuaca kayagitu (abis kami balik ke mobil, mc ngumumin prosesi lampion dicancel malam itu). Yaudah terus kami pulang dengan melewati jalan keluar yang juga....jarang ada papan petunjuknya. Dan memang, suasana pengunjung jadi kocar-kacir, karena ga ada protokol pengarahan kemana-kemana-kemana, dan ditambah hujan pula.

Satu paragraf doang kah cerita kami disana? Ya emang satu paragraf doang. Disana cuma berdiri, dengerin ceramah Bhante soal kedamaian Waisak, dengerin doa, pulang. Mau foto-foto kamera yang dibawa cuma kamera hape. Tau aja kamera hape gimana kalo malem. Yaudahlah ya meski ga liat lampion tapi udah ngeliat sinaran Borobudur juga udah lumayan.

Ga liat lampion itu masalah biasa, tapi kita sadar kok, ada yang lebih terpukul dari kami, Umat Buddhist yang mau nerbangin lampion sebagai simbolisme pelepasan doa. Ini jadi bahan diskusi kami sepanjang nunggu Ucen sama Aji yang masih di area Borobudur.

Prahara itself

Sampe dirumah Ucen, hape-hape dicas dan barulah mulai berbagai bahasan diutarakan. Mulai dari konser yang uang fee artis yang katanya dibawa kabur orang, hingga yang paling ngena menurut gw, bahasan soal pengunjung Borobudur yang "kacau".

Bukan karena kami ngelakuin hal itu, bukan, tapi karena kami disaat yang tidak tepat ada disana.

Berita yang kami denger, ada pengunjung yang ambil foto sampai naik ke altar, ada yang menginjak kaki Bhante, ada yang sampai harus disuruh turun dari altar, ada yang naik-naik ke stupa demi ambil foto Bhante, dan lain-lain. 

Ebuset kok bisa gitu ya? Gw juga ga tau. Kita baru sampe disana malem hari dan ga tau situasi Borobudur kayak apa di siang dan sore harinya. Yang jelas adalah kita ga salah kostum, kita ga berbuat yang aneh-aneh, cuma mau nonton lampion di Waisak. Udah. Dan kita ga bawa kamera SLR. hahaha!

Jadi dari berangkat sampe pulang kalian ga tau permasalahan itu di Borobudur?
ENGGAAAAA, PAK GURU!!!!

Sumbangsih Pemikiran

Sebenernya apa si yang ngebuat peringatan Waisak jadi seperti itu? Menurut gw ini beberapa pemikiran yang mungkin nyaut.

Dibuka buat umum itu ga masalah selama ada batasan yang jelas, ditutup untuk umum pun juga bukan masalah, bukan?

Bagaimana jika begini, semisal, perlu diketahui berapa jumlah jemaat Budhhist yang akan mengikuti prosesi. Mereka harus diutamakan dan jika bisa, didata. Pada waktu berdoa, mungkin akan lebih baik jika area peribadatan disterilkan dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Pers bisa ditempatkan sedemikian rupa, jika ada yang tidak boleh diambil gambar, diganggu, atau semacamnya, dapat dituliskan pada catatan pemberitahuan, atau jika mungkin diadakan technical meeting untuk pers. Kartu identitas untuk pers harus jelas dan jika dibutuhkan ditambahkan untuk alat pengenal resmi acara Waisak.

Kedua, pembatasan ruang Borobudur. Sama seperti konsep undakan pada Borobudur, ada baiknya pada saat prosesi Waisak, area Borobudur itu dibentuk ring pembatas yang jelas. Semisal, Ring 1 itu khus area Borobudur dan yang digunakan Bhante dan umat Buddhist untuk beribadah. Ring 2 adalah area pengamanan, area ini diisi oleh petugas penjagaan (entah dari WALUBI, atau kepolisian). Ring 3 adalah area steril, dimana tidak ada umat Buddhist maupun pengunjung, kecuali kepolisian di area ini. Ring 4 adalah area untuk pengunjung. Jarak antar ring dapat diukur sedemikian rupa, namun tetap menomorsatukan kegiatan peribadatan.

Ketiga, pembatasan penggunaan kamera oleh pengunjung. Semisal, kamera yang boleh digunakan adalah kamera standar tanpa penggunaan flash. Dan kalau bisa, tanpa suara (nah loh gimana tuh). Atau diumumkan bahwa tidak boleh ada kamera sekalian malah lebih efektif. Jadi, yang inginnya menonton lampion, ya nonton lampion, bukan cari objek fotografi. Done. Ini untuk mengatasi yang katanya kamera sampai 10cm dari wajah Bhante. -____- itu mau moto apaaa.... Solusi lain adalah mengundang khusus fotografer professional khusus untuk dokumentasi acara, fotonya kemudian diunggah di internet dan free untuk didownload oleh semua orang..

Keempat, pengetatan peraturan mengenai pakaian. Meski mungkin aneh di masyarakat, tapi pembatasan pengunjung yang boleh masuk dengan berstandarkan pakaian yang pantas, rasanya lebih bijak. Ngga perlu umat Buddhist yang harus menilai pantas ngga pantasnya, semua juga tau yang pantas ke prosesi peribadatan itu gimana.

Kelima, sekalian ditutup untuk umum juga ga ada yang rugi kan?

Keenam, banyak dari pengunjung yang datang adalah untuk melihat lampion bukan, jika Pemda memang mengedepankan Waisak sebagai nilai luhur agama Buddha, mungkin Pemda bisa bersifat lebih arif dengan mendesain solusi soal lampion. Semisal, lampion sebagai simbolisme peribadatan hanya dapat dihadiri oleh para Bhante dan umat Buddhist. Penerbangan lampion untuk pengunjung dapat dilakukan di Ring 4, atau mungkin diadakan acara khusus sehari setelah prosesi peribadatan selesai.

Ketujuh, diperlukan sikap yang dewasa dari pengunjung sendiri. Jika memang mau ke pantai ya silakan pake pakaian seksi, hotpants lah, nerawang lah, ato apalah. Tapi kalo menghadiri prosesi keagamaan, meski cuma untuk nonton lampionnya, harus mampu menghargai. Masa' iya mau ke shalat Ied pake hotpants, mau nyembelih kurban pake baju nerawang, kan ga pantes.

Agama Buddha meskipun gw cuma belajar secuil dan itupun dari film-film Asia Timur, gw tau kok mereka umat Buddhist itu orang-orang yang terbuka kepada siapapun. Bhanthe yang gurunya Sun Go Kong misalnya, mana pernah dia nolak orang apalagi menghardik orang. Keberadaan lampion selain prosesi peribadatan tentunya juga untuk menunjukkan kepada masyarakat yang diperbolehkan masuk dan melihat prosesi agama mereka, bahwa mereka terbuka dan mereka ingin hidup damai. Itu saja. Apa yang terjadi kemarin tidak lebih dari kekacauan yang dibuat beberapa orang tanpa otak. Dan saya pastikan, teman-teman pembaca, ngga semua pengunjung Waisak berlaku seperti itu.Good think, good act, good result!

Well, ini hanya ide saya, jika ingin protes....inget kalian masuknya gratis, ndess.


-----------------------------------------------------------------------------------------------
~Janganlah jadi orang yang membenci karena iri~ randyatmoko, 2013.

Friday, May 3, 2013

9gag dan Buah Pemikiran

Sampai hari ini, 9gag masih menjadi website humor penyedia "fun" terfavorit saya. Soalnya, "fun" di 9gag diartiin lebih dari sekedar suka cita dan humor. Fun buat 9gag juga ngeliputin hobi, motivasi, inspirasi, rasa prihatin, bahkan solidaritas. Ini yang membuat 9gag menjadi website non-jejaring sosial paling bermakna sosial, menurut saya. Dan hari ini saya kembali menemukan sebuah quote yang luar biasa bagusnya. Dituliskan disitu, quote ini milik Mahatma Gandhi, tokoh pergerakan India. Coba dipahamin deh maknanya.






Gandhi mencoba menyederhanakan sebab musabab kehidupan, dimana semua berawal dari pemikiran manusia. Hasil pemikiran manusia, menjadi kata-kata, kata-kata menjadi perilaku, perilaku menjadi kebiasaan, kebiasaan menjadi nilai, dan nilai menjadi takdir. Entah kenapa ini kok sesuai dengan apa yang saya pikirkan tadi pagi, bahwa hidup itu adalah buah hasil pemikiran. Jika alur perjalanan hidup kita menurut Gandhi adalah berasal dari pemikiran, kebetulan banget sama dengan yang saya katakan dan saya tulis di profil twitter saya tadi pagi! Yeay! So, gw udah setara lah ya sama Gandhi? NO.

Menurut saya, hidup adalah buah pemikiran, bukan pencitraan. 

Ibaratkan ada seorang penjudi, yang pikirannya sudah tersusun untuk berjudi. Sedikit sedikit berbicara tentang judi, mulai dari berapa taruhannya, berapa purnya, siapa yang main, bisa parley ga, ya bla bla bla.. Kemudian akhirnya dia pasang tuh, entah pake duit siapa, bisa duit dia, duit temennya, bisa juga duit orang lain, atau bisa juga duit negara! Hiiiiiii!!  Nah setelah itu dia bisa menang, dan bisa juga kalah. Kalo menang judi, jadi ketagihan. Tapi kalo kalah, ya main judi lagi buat nutup kalahnya. Entah pake duit siapa. Yah ketagihan lagi deh. Jadi kebiasaan main judi kan? Nah karena udah kebiasaan main judi, akhirnya dia beranggapan kalo judi itu ga masalah buat dia, menjadi nilai tambah buat dia. Padahal udah nyata engga ada yang bisa kaya-kaya banget dari main judi kecuali bandar judi -____-. Dan akhirnya takdir berbicara, yang baik dibalas dengan yang baik, yang jelek dibalas dengan yang jelek. Kalah judi, duit habis, teman nagih duit yang dipake buat judi, bla-bla-bla bla-bla-bla...ribut, kacau semua.

Kok ngerti jalan hidup orang main judi? Pernah ngerasain? Ngga, cuma hidup berdekatan dengan lingkungan yang banyak orangnya main judi. Kenapa judi? Karena ini yang paling jelas nunjukin bahwa Gandhi benar. Udah banyak contohnya dan urutannya benar. Makanya Gandhi bilang jagalah pemikiranmu dalam keadaan yang positif agar hidup kamu juga berjalan dengan positif. Sekali lagi, hidup adalah buah pemikiran, bukan pencitraan!

Eh apasih kok kamu ngomong pencitraan mulu? Ikut-ikutan heboh Jokowi-Dahlan Iskan-SBY soal pencitraan? Oh engga. Meski nyerempet juga sih. Man, listen. Orang yang benar-benar baik, benar-benar bekerja, benar-benar berusaha, akan tau kalo mereka tidak perlu melakukan pencitraan agar orang lain sadar mereka orang baik. Tidak perlu mengungkit apa yang sudah dilakukan, apa yang sudah diberikan, dan apa yang sudah dikorbankan olehnya, karena orang lain bisa menilai. Nah, orang yang merasa perlu melakukan pencitraan BERARTI telah melihat bahwa orang lain mulai memandang rendah terhadap dirinya, yah emang udah rendah sih aslinya, makanya dia melakukan itu, istilahnya untuk menaikkan tingkat elektabilitas mereka di hadapan masyarakat.

"Saya sudah melakukan A, membantu B, menolong C, berkorban D, merelakan E." Contoh kalimat pencitraan.

"Kembalikan E yang sudah saya berikan!" Contoh kalimat pencitraan.

Penting gak sih elektabilitas itu di depan masyarakat? Oh penting itu, katanya bisa menambah pendukung kalo ntar kalah jadi ada yang ngedukung waktu nyerang lawan politiknya. Tapi ya buat apa? Bukankah kinerja lebih baik dari sekedar elektabilitas palsu? Bukankah lebih baik mengabdi setulus hati tanpa perlu ada yang tau apa yang kita kerjakan? Wah kalo itumah kembali ke kalimat Wallahualam bisshawab. Cuma Tuhan yang tau apa dan bagaimananya, memang susah untuk seperti itu, tapi banyak orang yang akhirnya lebih mendapat respect dengan bersikap seperti itu. Pernah lihat Pursuit of Happiness? Totalitas pada kerja yang kemudian membuatnya mencapai level tertinggi! Bukan pencitraan!

Lalu apa hubungannya pencitraan dengan bahasan Gandhi di atas?

Ibaratkan kamu adalah orang yang melakukan pencitraan, dengan berusaha terlihat baik dan santun di depan umum, meski kamu menyimpan kebobrokan diri kamu di belakang. Kamu mulai berbohong mengenai satu hal, menambah-nambahkan kebaikan diantara cerita yang kamu karang sendiri, dan membuat kamu terjebak pada pemikiran dan kata-katamu sendiri. Apa yang kemudian terjadi adalah kamu menerapkan ini di keseharian kamu, setiap berjumpa dengan orang, kamu ingin terlihat baik, terlihat rajin, dan terlihat telah melakukan sesuatu dan pantas untuk dianggap berjasa. Kemudian ketika kamu telah terjebak pada perilaku ini, menjadi kebiasaan, maka otakmu kemudian menyatakan inilah hal yang benar untuk kamu lakukan. Padahal dalam hati kecilmu kamu tau kamu salah. Namun karena kamu telah menganggap itu benar maka kamu terus melakukannya. Suatu saat nanti ketika orang-orang sadar mengenai kebobrokan kamu yang selama ini kamu sembunyikan, terjerembablah kamu ke dalam takdir yang kamu ciptakan sendiri.

Takdir yang berasal dari buah pemikiran kita sendiri.


Wallahualam bisshawab.
Salam.



How Far You Can Hold Your Principium

Dua hari di awal bulan Mei menjadi sebuah titik yang sekiranya bermakna untuk menandai momentum dalam hidup saya. 1 Mei adalah hari buruh, salah satu faktor produksi penting dalam perekonomian, bidang yang selama ini saya tekuni. 2 Mei adalah hari pendidikan nasional, kalo ini sih cuma ngerasa deket aja secara pernah magang jadi asisten konselor (guru BK). Dan di dalam dua hari ini dapet kabar yang engga enak dan mengusik batin saya, entah sebagai seorang yang berkutat di bidang sosial ataupun cuma sebagai manusia biasa.

Per tanggal 1 Mei, sebuah berita dari kampung datang mengenai pemberhentian beberapa guru di yayasan pendidikan tempat saya bersekolah dulu. Pemberhentian kerja pegawai itu biasa dalam ekonomi, namun bukan hal yang biasa di daerah sekecil itu. Apalagi dengan angka yang muncul ketika berita itu muncul. Dan apalagi dengan alasan yang muncul. Seketika dari dunia Luna Maya hingga dunia maya jadi heboh. Dan saya pun, kepo. Selidik punya selidik, sedikit lah informasi masuk, meski saya tidak berani mengambil keputusan mana pihak yang benar karena pasti ada distorsi di dalamnya.

Tujuh orang diberhentikan dari pekerjaannya. Dua distorsi pemberitaan yang muncul. Satu, permintaan kartu jamsostek. Dua, pergerakan dengan dasar solidaritas. Saya juga tidak tau mana alasan yang benar dan biarkan itu menjadi urusan yang terkait. Namun, melihat dari lini masa rekan-rekan yang "dimerdekakan" menimbulkan rasa respect yang tinggi kepada rekan-rekan tersebut. Terlebih dengan banyaknya dukungan dari adik-adik angkatan yang memang lebih mengenal mereka. Saya berpikir, jika mereka sebegininya disukai dan dihargai, lalu mengapa diberhentikan? Apakah ada etika yang dilanggar? Kriminalitas? Atau sekedar permainan politik? Saya ndak tau.

Pengkepoan pun terus saya lakukan hingga ke blog salah satu rekan yang mendapat kemerdekaan. Blognya secara terbuka dapat dikunjungi di www.basmanposeng.blogspot.com. Di situ dituliskannya keluh kesah dan kritik pedas atas apa yang ia rasa dilakukan kepadanya selama beberapa waktu ke belakang. Afgan juga memang apa yang diterimanya selama itu. Saya seperti bertanya "ini bener nih kejadian?" soalnya hampir ngga percaya hal kayagitu kejadian ke orang yang have already done very much things for the school.

Well, saya akhirnya memutuskan bahwa these people has done a very great thing. To defend what you think it is right even it gives you a bitter result.

Kebenaran memang bisa relatif selama itu ada di otak kita. Tapi kebenaran adalah sebuah fakta realitas selama itu bergulir di dunia Luna Maya.

Itu satu. Tulisan ini ada bagian dua-nya.

Jadi malam tadi saya sedikit kepo dengan permasalahan Barca yang kalah 7-0 dan kemudian jadi perbincangan hangat di dunia twitter. Dari satu akun twitter ke akun lain, hingga berujung ke salah satu akun rekan. Siapa orangnya itu tidak penting. Setelah pertandingan Barca - Bayern, saya sempat ngetwit soal kemungkinan "drama" dibalik kekalahan Barca. YA, Bayern memang superior. Tapi mengapa Barca bisa setega itu kalah di kandang sendiri dengan skor yang mencolok? 0-3?

Saya fans Madrid, tapi saya melihat kekalahan Barca dari perspektif lain. Spanyol hampir bangkrut, Catalan (negara bagian Spanyol lokasi Barca berada) pun dalam keadaan ekonomi yang "memprihatinkan". Di saat yang bersamaan Bundesliga berulang tahun ke 50. Bukankah merupakan hal yang luar biasa untuk melihat All Germany final? Dan kemudian Barca menyerah 0-3. Di kandang.

Saya kemudian berspekulasi (bukankah ini hal yang biasa bagi seseorang untuk menduga2??) bahwa Barca memang sengaja melepas laga ini. Mulai dari Messi tidak dipasang (ofisial mengatakan dia fit untuk bertanding, yg kemudian dibantah Tito). Xavi dan Iniesta ditarik di babak kedua. 0-3. Aneh kan. Terlepas dari berapa golpun yang Barca butuh, tapi stadion Camp Nou adalah rumah mereka. Dari sini saya kemudian mengeluarkan dugaan bahwa ada permainan di bawah tangan dengan menyebut "pendalang eropa" yang membonekakan Barca. Dua pihak yang paling mungkin, rumah judi, ataupun permainan politik. Tapi karena lebih asik berbicara politik ketimbang judi, saya memilih mengaitkannya dengan "kebutuhan dana segar" para poli-tikus disana.

Lantas apakah itu salah? Tidak. Tak ada yang bisa menyalahkan spekulasi. Saya bisa saja salah (dan memang kemungkinannya sangat besar), namun saya bisa juga benar (krna itu saya menyertakan hashtag - thing we dont mention in newspaper). Apakah saya bisa membuktikan bahwa saya benar? Tidak, dan buat apa. Apakah orang lain bisa membuktikan bahwa saya salah? Tidak juga.

Saya tidak keberatan jika dibilang "sok tau", karena memang spekulasi adalah buah pengetahuan, dan memang sifat manusia pasti ada ke"sok"annya. Dan apakah saya "sok tau" tentang itu? Tidak juga sebenarnya karena saya memiliki dasar pemikiran, meski saya sadari itu lemah untuk diargumentasikan. Namun ketika saya disebut sebagai pribadi yang munafik, yah panas juga lah ya. Apa hubungannya twit tentang sepakbola dengan kemunafikan? Saya semakin tidak paham dengan pemikiran rekan yg satu itu. Argumen dibalas dengan argumen. Bukan dengan hinaan, ejekan, ataupun makian. Kalau tidak mampu berargumentasi dengan baik, ya sudah tak usah berargumentasi. Diam saja.

Dan bodohnya saya saat itu adalah saya terpancing dengan hal tersebut. Saya terpancing dan kemudian menuliskan tiga tweet yang wagu di timeline. Yang intinya bilang "KALAU MASIH NGERASA PUNYA MASALAH, SINI SELESAIKAN, JANGAN CUMA DIBELAKANG NGEHINA-HINA". Maksud saya jelas, plis, kalo udah bilang selesai, ya selesai, be a man!

Namun tindakan saya dengan ngetwit begitu itu salah. Melanggar prinsip saya untuk jangan ngamuk2 di twitter. Sehingga kemudian saya alihkan amarah saya dengan menghubungkan twit saya tadi dengan sebuah film berjudul Stand Up Guys (2012) yang kebetulan cocok dengan twit tadi. Al Pacino, Walken, dan Arkin yang main. Katakanlah itu lari dari apa yang saya tuliskan di tiga twit sebelumnya, tapi saya memilih untuk menyebutnya menurunkan tensi amarah saya. Api akan melahap semua kayu bakar jika kita tidak mampu mengontrolnya, bukan?

Film ini menceritakan 3 sahabat yang ketika muda sering "nakal" bareng. Suatu saat, Walken tanpa sengaja menembak anak seorang mafia, namun entah bagaimana Al Pacino yang masuk penjara. Si mafia menyalahkan Al Pacino dan menyuruh Walken membunuh Al Pacino selepas ia bebas dari penjara, dengan ancaman jika tidak dilakukan, si mafia akan membunuh cucunya. Walken berusaha meyakinkan si mafia bahwa ia adalah manusia yang punya hati, maafkan Pacino dan sudahi semua permasalahan. Toh Pacino sudah mendapatkan hukuman. Si mafia menolak menyelesaikan permasalahan namun tidak berani berhadapan dengan Pacino yang jago.

Twit sudah keluar dan sedikit melegakan saya bahwa saya sempat masuk ke dalam KEBODOHAN untuk sesaat. Itu bukan menjilat ludah, tapi saya menghias ludah saya dengan menutupnya dengan pasir. Namun tetap, saya telah melakukan kebodohan dengan terpancing kepada hinaan orang lain. Bukankah saya punya argumen yang berdasar dan dia hanya punya hinaan yang tidak jelas serta hanya menunjukkan ketidakmampuan dia berargumen? Sekarang saya sadar dengan hal tersebut dan mungkin hanya menerapkan apa yang dikatakan Pak Bagus, "Mengapa ambil pusing dengan ucapan orang bodoh?".

Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan saya sadar, Allah tidak bersama saya ketika saya sedang masuk ke dalam kebodohan tersebut. Dan inilah masa ketika saya gagal memegang prinsip saya, untuk sesaat. Semoga kedepannya saya lebih mampu untuk mengontrol emosi dalam menjalani hidup yang cuma tinggal sesaat ini.

-------------------------------------------------------------

Dua bagian tulisan di atas menjelaskan bagaimana ada satu contoh orang yang mampu memegang prinsipnya untuk mengatakan apa yang benar itu benar meski kemudian pahit yang harus dirasakan, dan satu contoh kegagalan saya memegang satu prinsip saya untuk tidak lagi ngamuk-ngamuk di twitter. Mungkin kerangka pemikiran penulisan saya masih amburadul untuk pembaca raba, dan jika memang itu yang terjadi, biarkan tulisan ini menjadi momentum bagi saya untuk memperbaiki diri.

Wallahualam bisshawab.
Salam.

The Author

My photo
God gives you two ears so we can listen not only from one side. There are many perspective, point of view, and argument that can give you insights! Perhaps! Happy reading!
Muhamad Hasan Putra

Perumahan 1. Pt. GPM
Block F. 040
Bandar Mataram, Lampung Tengah
Lampung
34169

muhamad.hasan.putra@gmail.com

FB : Muhamad Hasan Putra

Twitter : @putrahasan