Author's Page
Minggu, 20:58 WIB, 13 November 2016.
Jika anda pernah menelaah kehidupan anda selama ini, ada beberapa hal yang mungkin kita lupa untuk kita syukuri. Bagi saya itu adalah nikmat sehat dan nikmat waktu. Sungguh dua hal inilah yang jarang sekali saya khususkan untuk saya syukuri. Ketika kita sehat, kita lupa bahwa kesehatan bukanlah hal yang abadi. Kita lupa mengucap syukur kepada Allah SWT betapa indahnya nikmat sehat yang Allah SWT berikan. Baru di saat kita sakit, kita baru mengucap memohon kesembuhan dan kesehatan. Begitu pula adanya dengan nikmat waktu. Betapa hal ini selalu kita sia-siakan dan lupa kita syukuri. Betapa kita lupa bahwa satu detikpun dalam hidup ini tak akan pernah dapat kita ulang. Kita habiskan lebih banyak waktu untuk bermalas-malasan, bersenda gurau, dan hal-hal lainnya yang mungkin tak lebih bermanfaat. Mari, kembali kita melakukan introspeksi terhadap diri dan lingkungan agar kita selalu menjadi lebih baik.
Sengaja, pemirsa pembaca yang mulia, ku awali tulisan ini dengan mencoba mengingatkan kepada diri saya sendiri, dan juga kepada pemirsa pembaca untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik, baik dari sisi kemanusiaan kita, maupun dari sisi kedekatan kita dengan Tuhan YME. Saya mencontoh bagaimana khutbah setiap shalat jumat disampaikan, dimana khatib wajib mengingatkan utamanya untuk dirinya sendiri dan kemudian pada semua jamaah. Alangkah indah jika nilai-nilai sederhana ini juga kita bisa terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Warbyasah versi dewasa dari diriku ini ya. Hahaha.
Alhamdulillah, sudah 2016. Sudah bulan November. Tak terasa, satu setengah bulan lagi sudah ganti tahun. Semakin tua diriku, semakin dekat pula dengan kubur. Dua puluh lima tahun sudah berlalu sejak ibundaku tercinta, Ainun, seorang Sunda yang tak tahu lagi kemana larinya Sunda di dirinya akibat terlalu lama tinggal di Lampung, melahirkan seorang anak lelaki yang jemarinya kini menari di atas tuts papan ketik digital menuliskan rangkaian kata-kata di media ini. Dua puluh lima tahun pula sudah berlalu semenjak ayahandaku tersayang, Ass'at, seorang Palembang yang tak tamat sarjana, melantunkan azan di tangis pertamaku sore itu, Kamis, 11 April tahun 1991. Jangan dirimu bertanya bagaimana bentukku saat itu. Legenda mengular, aku lahir ibarat bayi ras Mongolia asli. Putih berisi, chubby, dan sipit.
Dan jangan pula dirimu bertanya bagaimana bentukku saat ini. Namun akan kujawab, masih berisi, bahkan lebih, kulit coklat ibarat seragam pramuka, dan sipitku sudah dibawa kabur penikmat dana BLBI ke Singapura dan Malaysia.
Aku adalah seorang lelaki, jika itu perlu untuk diketahui, preferensi seksualku normal. Dan jika normal di saat ini masih perlu diperjelas, preferensiku hanya lawan jenis. Dan akupun tak mengerti mengapa aku mengategorikan itu sebagai sesuatu yang harus diperjelas. Sudah hampir tiga tahun berlalu semenjak diriku lulus dari pendidikan tingkat tinggiku dengan diberikan gelar sarjana ekonomi, lulus dengan dianggap "sangat memuaskan", meski ku tak tau siapa yang dipuaskan. Dan sudah hampir tiga tahun pula, aku kembali mengabdi pada perusahaan yang membiayai kuliahku selama ini. Semoga, cita-citaku dulu, saat aku masih menjadi mahasiswa penuh "nilai-nilai kemahasiswaan" yah bisa diwakilkan di tempat ini, at least an indirect way would be better than nothing at all.
Akhir kata, selamat menikmati keindahan blog ini. Tanggapan, saran, dan kritik, sangat kutunggu sebagai bahan pertimbangan yang mungkin nanti akan kusalurkan pada mereka yang mebutuhkan. Semisal pedagang pasar tradisional yang kehilangan logam pemberat timbangan mereka.
Salam,
Muhamad Hasan Putra
Jika anda pernah menelaah kehidupan anda selama ini, ada beberapa hal yang mungkin kita lupa untuk kita syukuri. Bagi saya itu adalah nikmat sehat dan nikmat waktu. Sungguh dua hal inilah yang jarang sekali saya khususkan untuk saya syukuri. Ketika kita sehat, kita lupa bahwa kesehatan bukanlah hal yang abadi. Kita lupa mengucap syukur kepada Allah SWT betapa indahnya nikmat sehat yang Allah SWT berikan. Baru di saat kita sakit, kita baru mengucap memohon kesembuhan dan kesehatan. Begitu pula adanya dengan nikmat waktu. Betapa hal ini selalu kita sia-siakan dan lupa kita syukuri. Betapa kita lupa bahwa satu detikpun dalam hidup ini tak akan pernah dapat kita ulang. Kita habiskan lebih banyak waktu untuk bermalas-malasan, bersenda gurau, dan hal-hal lainnya yang mungkin tak lebih bermanfaat. Mari, kembali kita melakukan introspeksi terhadap diri dan lingkungan agar kita selalu menjadi lebih baik.
Sengaja, pemirsa pembaca yang mulia, ku awali tulisan ini dengan mencoba mengingatkan kepada diri saya sendiri, dan juga kepada pemirsa pembaca untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik, baik dari sisi kemanusiaan kita, maupun dari sisi kedekatan kita dengan Tuhan YME. Saya mencontoh bagaimana khutbah setiap shalat jumat disampaikan, dimana khatib wajib mengingatkan utamanya untuk dirinya sendiri dan kemudian pada semua jamaah. Alangkah indah jika nilai-nilai sederhana ini juga kita bisa terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Warbyasah versi dewasa dari diriku ini ya. Hahaha.
Alhamdulillah, sudah 2016. Sudah bulan November. Tak terasa, satu setengah bulan lagi sudah ganti tahun. Semakin tua diriku, semakin dekat pula dengan kubur. Dua puluh lima tahun sudah berlalu sejak ibundaku tercinta, Ainun, seorang Sunda yang tak tahu lagi kemana larinya Sunda di dirinya akibat terlalu lama tinggal di Lampung, melahirkan seorang anak lelaki yang jemarinya kini menari di atas tuts papan ketik digital menuliskan rangkaian kata-kata di media ini. Dua puluh lima tahun pula sudah berlalu semenjak ayahandaku tersayang, Ass'at, seorang Palembang yang tak tamat sarjana, melantunkan azan di tangis pertamaku sore itu, Kamis, 11 April tahun 1991. Jangan dirimu bertanya bagaimana bentukku saat itu. Legenda mengular, aku lahir ibarat bayi ras Mongolia asli. Putih berisi, chubby, dan sipit.
Dan jangan pula dirimu bertanya bagaimana bentukku saat ini. Namun akan kujawab, masih berisi, bahkan lebih, kulit coklat ibarat seragam pramuka, dan sipitku sudah dibawa kabur penikmat dana BLBI ke Singapura dan Malaysia.
Aku adalah seorang lelaki, jika itu perlu untuk diketahui, preferensi seksualku normal. Dan jika normal di saat ini masih perlu diperjelas, preferensiku hanya lawan jenis. Dan akupun tak mengerti mengapa aku mengategorikan itu sebagai sesuatu yang harus diperjelas. Sudah hampir tiga tahun berlalu semenjak diriku lulus dari pendidikan tingkat tinggiku dengan diberikan gelar sarjana ekonomi, lulus dengan dianggap "sangat memuaskan", meski ku tak tau siapa yang dipuaskan. Dan sudah hampir tiga tahun pula, aku kembali mengabdi pada perusahaan yang membiayai kuliahku selama ini. Semoga, cita-citaku dulu, saat aku masih menjadi mahasiswa penuh "nilai-nilai kemahasiswaan" yah bisa diwakilkan di tempat ini, at least an indirect way would be better than nothing at all.
Akhir kata, selamat menikmati keindahan blog ini. Tanggapan, saran, dan kritik, sangat kutunggu sebagai bahan pertimbangan yang mungkin nanti akan kusalurkan pada mereka yang mebutuhkan. Semisal pedagang pasar tradisional yang kehilangan logam pemberat timbangan mereka.
Salam,
Muhamad Hasan Putra
2 tanggapan:
Muhamad Hasan Putrakeren bangettt, bisakah saya mewawancarai anda? kami dari tim Jurnalistik Majalah Elisabeth di Pringsewu Lampung
Muhamad Hasan Putrakeren bangettt, bisakah saya mewawancarai anda? kami dari tim Jurnalistik Majalah Elisabeth di Pringsewu Lampung
Post a Comment