The Untold Stories of Rakyat
Coba bayangkan ilustrasi berikut dalam pikiran anda. Anda adalah seorang mahasiswa. Anda masuk dalam organisasi kemahasiswaan yang sering berorasi mengenai kesejahteraan rakyat. Anda melihat siaran televisi yang membandingkan fasilitas untuk Presiden RI dengan rakyat yang hidup di pinggir Sungai Ciliwung. Kemudian seorang teman anda datang membawa sekelumit cerita:
“
“
“
“
“Ada sebuah kisah nyata di sebuah daerah di Sumatra. Cerita ini berawal dari sebuah kasus heboh tentang isu pembantaian yang terjadi di daerah tersebut. Isu pembantaian terjadi setelah terjadi bentrok massal antara warga dengan perusahaan swasta. Kebetulan perusahaan itu menggunakan tanah di daerah tersebut sebagai lahan untuk beroperasi. Waktu berjalan, aksi dilakukan, korban berjatuhan.
Melihat isu tersebut rakyat daerah lain yang merasa terdzalimi pun angkat bicara. Aksi unjuk rasa pun dilakukan di daerah lain. Kali ini isunya mengangkat tanah warisan adat yang dengan sengaja dipakai oleh sebuah perusahaan perkebunan, yang artinya melanggar besaran dalam hak guna usaha perusahaan tersebut. Unjuk rasa pun dilakukan. Aksi pendudukan atas fasilitas perkebunan pun dilakukan, dan mereka tidak akan berhenti sebelum tuntutan mereka dipenuhi.”
3 tahun sudah saya belajar mengenai manajemen bisnis di FEB UGM, dan sebagai mahasiswa yang mengerti etika bisnis, maka sekilas saya akan jatuh pada kesimpulan:
“Wuih rese banget nih perusahaan makan tanah orang. Kasian tuh rakyat terdzalimi. Dasar pengusaha maunya profit aja, tapi menyakiti pihak lain.”
Benarkah kesimpulan ini?? Berikut bagian THE UNTOLD STORIES.
Seorang pejabat daerah yang berkuasa menggunakan isu tersebut untuk menggoyah beberapa perusahaan lain. KEBETULAN sekali, tahun depan beliau harus lengser akibat masa jabatannya sudah habis. Kabar burung yang beredar, pemilik perusahaan sudah tidak lagi mendukung pejabat tersebut untuk menjadi pejabat kembali, apalagi jika pejabat tersebut mencalonkan anaknya sebagai penggantinya di posisi tersebut. Biar mudah sebut saja nama pejabat itu M.
M pun menggerakkan massa untuk menggoyah perusahaan. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi di pintu masuk area perkebunan perusahaan tersebut. Isunya sama seperti isu bertahun-tahun yang lalu. Permintaan pengukuran ulang hak guna usaha atas tanah yang digunakan oleh perusahaan. Kabar yang beredar, satu orang yang berunjuk rasa dibayar Rp 50.000/hari plus konsumsi. Ini jumlah yang lebih banyak ketimbang yang didapatkan rakyat dari bersawah.
Tak tanggung-tanggung tanah yang diklaim oleh pengunjuk rasa seluas 7.000 Ha. Dengan perkalian dan asumsi mudah, jika 1 Ha tanah seharga Rp 50juta, maka total tuntutan yang diinginkan pendemo sebesar Rp 350.000.000.000 (350 milyar). Dengan tambahan biaya pengukuran kotor sebesar 6 milyar, maka kerugian yang akan ditanggung perusahaan tersebut kasarnya sebesar 357 milyar. Jika permasalahan ini bisa dimenangkan pendemo, maka setiap pendemo akan mendapat bagian 2 Ha. Berarti akan ada + 2000 Ha tanah yang akan dibagikan kepada pendemo. Dan 5000 Ha sisanya? Akan dibagikan bagi pejabat dan M. Entah akan sekaya apa orang ini jika “proyek” ini berhasil.
Untuk mencegah permasalahan ini berakhir seperti kejadian terdahulu, polisi pun bergerak cepat. Mereka pun menggerakkan anggotanya sejak awal. Hingga akhirnya pejabat lain yang lebih tinggi kedudukannya pun dimintai bantuan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah dijelaskan bahwa pengukuran yang dilakukan oleh perusahaan telah dilakukan dengan sebenar-benarnya dan disahkan oleh badan pertanahan disertai adanya hitam di atas putih, para pendemo pun pulang dengan tangan hampa. Dan M pun habis sudah.”
Tapi yang saya ingin tunjukkan dalam kisah ini bukanlah mengenai kasus etika bisnisnya, melainkan sebuah kenyataan bahwa saya sedang bertanya, rakyat mana yang sebenarnya harus kita bela sebagai mahasiswa. Apakah rakyat seperti kasus di atas?
Mungkin ini cuma sekedar stereotip, tapi bagi beberapa orang yang mengerti, inilah kenyataannya “mereka yang berdemo itu orang yang tidak mengerti arti berterima kasih. Perusahaan itu sudah mencoba mensejahterakan mereka dengan memberdayakn fasilitas umum seperti sekolah dan urusan kesehatan, bahkan diberikan pekerjaan. Tapi apa yang dilakukan mereka kini sungguh keterlaluan, berantakan”
Banyak diantara mereka yang telah diberikan pekerjaan oleh perusahaan, namun sayang sekali mereka datang hanya untuk absen dan kemudian pulang.
Inikah satu bagian dari rakyat yang harus dibela? Yang datang bagai kebo dicucuk hidungnya dengan imbalan Rp 50.000 per hari + Nasi bungkus dan janji 2 Ha tanah jika berhasil?
Dengan tegas saya akan jawab, TIDAK.
Fair to Say, Covering Both Sides
Apa yang terjadi pada rakyat itu bukanlah total kesalahan mereka. Ini jelas adalah akibat kesalahan dari sistem terdahulu. Bagaimana kekayaan alam mereka diserap dan dibawa ke Ibu Kota, hingga hampir tidak ada lagi yang tersisa di daerahnya. Bayangkan saja, bagaimana sebuah propinsi pelabuhan menduduki peringkat termiskin di pulau tersebut –,-
Pendidikan yang seadanya, membuat mereka berujung pada kemiskinan. Kemiskinan itupun diwariskan pada anaknya sehingga anaknya tak mampu menggapai pendidikan dan berakhir dalam kemiskinan pula. Yang makmur pun ada, tapi makmurnya karena menjual tanah warisan leluhur yang luasnya luar biasa, tapi tetap tanah itu akan habis pada waktunya.
Tapi, tetap saja semua itu seharusnya bisa dipinggirkan sesuai kemajuan zaman, bagaimana anda bisa membantah argumen bahwa kini Gorontalo, Riau dan banyak daerah lain di Indonesia bisa maju sementara propinsi satu ini begini-begini saja. Apakah ini karena sumber daya yang sudah habis diserap Ibu Kota, atau penduduk seperti pendemo di atas yang memang mental pemeras? Tak pernah ada yang bisa pastikan.
“
“
“
“
Seketika sebuah adegan muncul dalam otak anda, “Seorang wartawan kemudian bertanya pada penghuni pinggiran sungai Ciliwung yang kumuh itu, ‘mengapa Ibu menolak bertransmigrasi?’ jawab Ibu tersebut,’Kami sudah nyaman hidup di sini’.
Bela atau tidak, keputusan ada di tangan pribadi masing-masing.
0 tanggapan:
Post a Comment