the roots of education are bitter, but the fruit is sweet ~aristotle~

Sunday, May 26, 2013

"Prahara" Pengunjung Waisak

Sebelum teman-teman melanjutkan membaca ini, pastikan teman-teman mampu untuk berpikir dewasa, out of the box, dan mampu melihat gambaran besar dari sesuatu. Bersikaplah yang santun dalam berpendapat dan pastikan pendapat anda muncul bukan karena iri hati, dengki, dendam, dan rasa tertindas. Selamat membaca. Oiya, artikel ini membahas prosesi Waisak di Borobudur, bukan prosesi sebelumnya.

"Prahara" Pengunjung Waisak

Sekilas perjalanan kami

Waisak, seperti telah diketahui bersama, adalah sebuah hari besar bagi para umat Buddha. Para Buddhist memperingati hari ini untuk beribadah dan mendalami kembali makna kedamaian dalam Buddha. Salah satu prosesi acara Waisak yang terkenal adalah yang diadakan di Borobudur. Bagi umat Buddha, perayaan di Borobudur adalah semacam yang terbesar di Indonesia. ribuan penganut Buddha datang dari penjuru untuk menghadiri prosesi ini. Dan, bagi umat non-Buddhist (entah itu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, maupun Konghucu) yang menarik dari acara ini tentu prosesi penerbangan lampion. Tidak terbantahkan.

Prosesi penerbangan lampion menarik hati ribuan orang non-Buddhist tak hanya di Indonesia, bahkan juga di luar negeri. Ini terbukti dari banyaknya turis asing yang datang ke acara ini. Mulai dari turis dari negara-negara di Eropa, Asia, Amerika, dan Australia. Namun, tentu yang paling banyak adalah warga domestik. Tak terkecuali saya, Ucen, Irsyad, Aji, Randy, dan Dinda. Tak hanya sekedar melihat lampion, beberapa diantara kami, sama sekali belum pernah ke Borobudur.

Kami berangkat pukul 5 sore hari dan sampai sekitar satu setengah jam kemudian di area luar Candi. Sepanjang jalan memang sudah terlihat bahwa cuaca sedang tidak ramah, mendung, gelap dan terkadang gerimis. Sempat terpikir (dan terucap) untuk membatalkan rencana dan makan-makan di Artos saja. Namun, untuk "memuaskan rasa penasaran" kami terhadap Borobudur dan mi ayam, kami pun memutuskan untuk kembali lanjut ke Candi.

Cuaca di saat kami datang meskipun mendung, namun belum ada tanda-tanda hujan deras. Kami masuk dari jalur sebelah kiri, entah pintu arah mana, saya ngga tahu. Yang pasti diarah situ banyak orang jalan dan ngantri, jadi kami ikut arus aja. Saat ngantri ini juga uda keliatan kalo yang dateng ini punya tujuan yang sama dengan kami, mau liat lampion. juga udah banyak yang niat mau ambil foto dengan kamera canggih yang saya ga tau gimana cara ngejepretnya. Antrian masuk ke gerbang aja udah puluhan meter. Masuk ke gerbangnya impit-impitan kayak mau ambil BLT di tipi-tipi. Belum pemeriksaan metal detector ato apa namanya yang saya yakin error lantaran kebanyakan yang lewat hahaha.. kidding. Nah mulai dari sinilah hujan turun, gerimis..gerimis...deres.

Semakin masuk ke arah Borobudur, saya semakin ngerasa bersalah ada di situ. Bukan karena merasa ngeganggu prosesi acara, engga. Tapi karena, saya (dan kami) merasa ada di dalam lingkungan orang-orang Indonesia yang "ngga bisa menempatkan diri". Contoh yang paling nyata adalah peristiwa salah kostum. 

Kebanyakan saltum yang terjadi adalah cewek yang pakai HOT PANTS. Kok salah? Silakan direlatif-kan salah atau benarnya. Cuma aneh aja buat saya ngeliat, pertama, Waisak itu acara keagamaan, meskipun kesana bukan untuk ikut beribadah tapi kan bisa menghormati dengan berpakaian sopan? Emang HOTPANTS ga sopan? pikiro dewe cuk. Kedua, Borobudur itu alam terbuka, banyak pohon, banyak kemungkinan yang bisa terjadi, jangan salahin Borobudur ya kalo ntar lu ngegeletak di rumah sakit gegara digigit serangga -____-. Ketiga, acaranya kan malam hari, ngga dingin po? Ya ngga lah, kan sama mas pacar (jangan heran kalo banyak fenomena cowo cewe pelukan disana meski lu mestinya heran), terus besoknya tepar gegara masuk angin, salahin hotpants lu mbak! Keempat, itu paha apa besi abis di las woyy!

Saltum yang kedua ya biasalah, baju yang dalemannya nerawang kek X-Ray, You can see My Ketiak, Sepatu hak tinggi. Untung aja ngga ada yang bawa balon terus ngerayain ulang tahun pacarnya di tengah tengah Waisak.

Yah manusia mungkin bisa lupa bisa senewen..

Hal kedua yang gw ngerasa ngeganggu banget hampir sama dengan yang ditulis di OtherVision, soal banyaknya manusia yang bawa kamera. Entah berapa megapixel ga tau deh. Wajar kalo ngeliat mereka yang ngebawa kamera sambil nunjukin ID Pers ke polisi yang jaga, emang tugas mereka. Eh, yang aneh itu, ratusan pemegang kamera tanpa ID. Ini yang gw liat seperti rombongan orang mau ikut kompetisi lomba objek foto gitu.

Oh mungkin sekedar hobi dan emang diperbolehkan panitia, sesaat gw biasa aja ngeliat semua itu. Tapi kembali yang bikin hati jadi "opo thoooo ikiii cuuuuuukk" adalah waktu ngeliat anak-anak kecil yang gw yakin belum lulus SD, megang kamera SLR ato DSLR seharga kira-kira 7jutaan duduk anteng dan moto Borobudur. Ini udah ga ada yang minat jadi akuntan po? Semuanya dimodalin SLR begini. Seusia mereka, boleh megang tustel aja gw udah bangga banget men!

Terus dari situ kita ngerapat ke tenda, yang sebelumnya kita kira itu tempat pengunjung, yaudah sekalian ngiyup dari ujan. Sampe disana ya kaget aja yang ada. Puluhan orang dengan kamera, tripod, flash ato apalah namanya sparepart kamera yang gw juga ngga tau buat apa gunanya. Engga salah si emang. Tapi jumlahnya yang banyak banget plus anak kecil yang ngotak-ngatik kamera bikin gw kembali ke kesimpulan gw yang pertama, ini kompetisi fotografi.

Setelah setengah jam gw disana, duduk, merhatiin orang-orang sekitar, cewe-cewe cantik, cewe-cewe salah kostum, fotografer cilik, backpacker, hipster fotografer, orang-orang alay, paha putih, paha mulus, paha besar, paha bekas las panci, berlengan, tanpa lengan, rok panjang, rok mini, ngerokok, pacaran, dan lain sebagainya, kita ngikutin "PETUNJUK DARI POLISI YANG JAGA" --> ikutin jalan ini aja mas, nanti ada TEMPATNYA disana. Yaudah kita ikutin aja, dan emang benar, ada jalan naik dan banyak orang disana yang udah ambil posisi W. Ada yang udah berjas hujan, ada yang udah payungan, ada yang udah berpasangan, ada yang udah ngegelayut, ada yang udah tiduran, pingsan. Gw cuma tau disana engga ada polisi yang ngatur-ngatur barisan, tanda/petunjuk apapun lah. Cuma ada barisan orang dan karena posisinya udah lumayan enak, kita berhenti di jalan batako (atau aspal, gw ngga keliatan, gelep). Dan keujanan.

Setelah Bhante yang memberikan ceramah keagamaan dan beberapa doa dibacain, kami mutusin buat pulang karena udah yakin meski ngga diumumin lampion ga bakal naik dengan cuaca kayagitu (abis kami balik ke mobil, mc ngumumin prosesi lampion dicancel malam itu). Yaudah terus kami pulang dengan melewati jalan keluar yang juga....jarang ada papan petunjuknya. Dan memang, suasana pengunjung jadi kocar-kacir, karena ga ada protokol pengarahan kemana-kemana-kemana, dan ditambah hujan pula.

Satu paragraf doang kah cerita kami disana? Ya emang satu paragraf doang. Disana cuma berdiri, dengerin ceramah Bhante soal kedamaian Waisak, dengerin doa, pulang. Mau foto-foto kamera yang dibawa cuma kamera hape. Tau aja kamera hape gimana kalo malem. Yaudahlah ya meski ga liat lampion tapi udah ngeliat sinaran Borobudur juga udah lumayan.

Ga liat lampion itu masalah biasa, tapi kita sadar kok, ada yang lebih terpukul dari kami, Umat Buddhist yang mau nerbangin lampion sebagai simbolisme pelepasan doa. Ini jadi bahan diskusi kami sepanjang nunggu Ucen sama Aji yang masih di area Borobudur.

Prahara itself

Sampe dirumah Ucen, hape-hape dicas dan barulah mulai berbagai bahasan diutarakan. Mulai dari konser yang uang fee artis yang katanya dibawa kabur orang, hingga yang paling ngena menurut gw, bahasan soal pengunjung Borobudur yang "kacau".

Bukan karena kami ngelakuin hal itu, bukan, tapi karena kami disaat yang tidak tepat ada disana.

Berita yang kami denger, ada pengunjung yang ambil foto sampai naik ke altar, ada yang menginjak kaki Bhante, ada yang sampai harus disuruh turun dari altar, ada yang naik-naik ke stupa demi ambil foto Bhante, dan lain-lain. 

Ebuset kok bisa gitu ya? Gw juga ga tau. Kita baru sampe disana malem hari dan ga tau situasi Borobudur kayak apa di siang dan sore harinya. Yang jelas adalah kita ga salah kostum, kita ga berbuat yang aneh-aneh, cuma mau nonton lampion di Waisak. Udah. Dan kita ga bawa kamera SLR. hahaha!

Jadi dari berangkat sampe pulang kalian ga tau permasalahan itu di Borobudur?
ENGGAAAAA, PAK GURU!!!!

Sumbangsih Pemikiran

Sebenernya apa si yang ngebuat peringatan Waisak jadi seperti itu? Menurut gw ini beberapa pemikiran yang mungkin nyaut.

Dibuka buat umum itu ga masalah selama ada batasan yang jelas, ditutup untuk umum pun juga bukan masalah, bukan?

Bagaimana jika begini, semisal, perlu diketahui berapa jumlah jemaat Budhhist yang akan mengikuti prosesi. Mereka harus diutamakan dan jika bisa, didata. Pada waktu berdoa, mungkin akan lebih baik jika area peribadatan disterilkan dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Pers bisa ditempatkan sedemikian rupa, jika ada yang tidak boleh diambil gambar, diganggu, atau semacamnya, dapat dituliskan pada catatan pemberitahuan, atau jika mungkin diadakan technical meeting untuk pers. Kartu identitas untuk pers harus jelas dan jika dibutuhkan ditambahkan untuk alat pengenal resmi acara Waisak.

Kedua, pembatasan ruang Borobudur. Sama seperti konsep undakan pada Borobudur, ada baiknya pada saat prosesi Waisak, area Borobudur itu dibentuk ring pembatas yang jelas. Semisal, Ring 1 itu khus area Borobudur dan yang digunakan Bhante dan umat Buddhist untuk beribadah. Ring 2 adalah area pengamanan, area ini diisi oleh petugas penjagaan (entah dari WALUBI, atau kepolisian). Ring 3 adalah area steril, dimana tidak ada umat Buddhist maupun pengunjung, kecuali kepolisian di area ini. Ring 4 adalah area untuk pengunjung. Jarak antar ring dapat diukur sedemikian rupa, namun tetap menomorsatukan kegiatan peribadatan.

Ketiga, pembatasan penggunaan kamera oleh pengunjung. Semisal, kamera yang boleh digunakan adalah kamera standar tanpa penggunaan flash. Dan kalau bisa, tanpa suara (nah loh gimana tuh). Atau diumumkan bahwa tidak boleh ada kamera sekalian malah lebih efektif. Jadi, yang inginnya menonton lampion, ya nonton lampion, bukan cari objek fotografi. Done. Ini untuk mengatasi yang katanya kamera sampai 10cm dari wajah Bhante. -____- itu mau moto apaaa.... Solusi lain adalah mengundang khusus fotografer professional khusus untuk dokumentasi acara, fotonya kemudian diunggah di internet dan free untuk didownload oleh semua orang..

Keempat, pengetatan peraturan mengenai pakaian. Meski mungkin aneh di masyarakat, tapi pembatasan pengunjung yang boleh masuk dengan berstandarkan pakaian yang pantas, rasanya lebih bijak. Ngga perlu umat Buddhist yang harus menilai pantas ngga pantasnya, semua juga tau yang pantas ke prosesi peribadatan itu gimana.

Kelima, sekalian ditutup untuk umum juga ga ada yang rugi kan?

Keenam, banyak dari pengunjung yang datang adalah untuk melihat lampion bukan, jika Pemda memang mengedepankan Waisak sebagai nilai luhur agama Buddha, mungkin Pemda bisa bersifat lebih arif dengan mendesain solusi soal lampion. Semisal, lampion sebagai simbolisme peribadatan hanya dapat dihadiri oleh para Bhante dan umat Buddhist. Penerbangan lampion untuk pengunjung dapat dilakukan di Ring 4, atau mungkin diadakan acara khusus sehari setelah prosesi peribadatan selesai.

Ketujuh, diperlukan sikap yang dewasa dari pengunjung sendiri. Jika memang mau ke pantai ya silakan pake pakaian seksi, hotpants lah, nerawang lah, ato apalah. Tapi kalo menghadiri prosesi keagamaan, meski cuma untuk nonton lampionnya, harus mampu menghargai. Masa' iya mau ke shalat Ied pake hotpants, mau nyembelih kurban pake baju nerawang, kan ga pantes.

Agama Buddha meskipun gw cuma belajar secuil dan itupun dari film-film Asia Timur, gw tau kok mereka umat Buddhist itu orang-orang yang terbuka kepada siapapun. Bhanthe yang gurunya Sun Go Kong misalnya, mana pernah dia nolak orang apalagi menghardik orang. Keberadaan lampion selain prosesi peribadatan tentunya juga untuk menunjukkan kepada masyarakat yang diperbolehkan masuk dan melihat prosesi agama mereka, bahwa mereka terbuka dan mereka ingin hidup damai. Itu saja. Apa yang terjadi kemarin tidak lebih dari kekacauan yang dibuat beberapa orang tanpa otak. Dan saya pastikan, teman-teman pembaca, ngga semua pengunjung Waisak berlaku seperti itu.Good think, good act, good result!

Well, ini hanya ide saya, jika ingin protes....inget kalian masuknya gratis, ndess.


-----------------------------------------------------------------------------------------------
~Janganlah jadi orang yang membenci karena iri~ randyatmoko, 2013.

The Author

My photo
God gives you two ears so we can listen not only from one side. There are many perspective, point of view, and argument that can give you insights! Perhaps! Happy reading!
Muhamad Hasan Putra

Perumahan 1. Pt. GPM
Block F. 040
Bandar Mataram, Lampung Tengah
Lampung
34169

muhamad.hasan.putra@gmail.com

FB : Muhamad Hasan Putra

Twitter : @putrahasan