the roots of education are bitter, but the fruit is sweet ~aristotle~

Wednesday, September 21, 2011

She Deserves A Better Ones

Matahari mulai beranjak turun dari peraduannya ketika kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar Kantor Pusat Gadjah Mada. Beberapa kali kulirik arloji di tangan. Terasa lama sekali waktu berlalu di hari ini. Arloji pemberian bos besar tempat ayahku bekerja ini tampak tak bergerak dari pukul enam belas lebih empat puluh menit. Mungkin hanya perasaanku yang berlebihan, tapi kurasakan angin seperti begitu dingin menusuk.

 

Kuhentikan langkahku untuk duduk di atas trotoar jalan di depan Rektorat, ada beberapa anak kecil bercanda di seberangku. Aku berpura-pura membuka telepon genggamku, walau sebenarnya perhatianku tak kulepaskan dari mereka. Begitu indah senyum dan tawa mereka. Mereka begitu polos, belum mengerti apa yang namanya cinta, dan apa makna dicintai dan mencintai. Apa yang ada di dalam pikiran mereka mungkin hanya bagaimana cara bermain yang menyenangkan, keingintahuan yang banyak, dan lain sebagainya anak kecil.

 

Hiburan kecil bagiku di hari yang suram itu.

 

Sebuah pesan dari orang yang pernah kucintai.

 

Masih segar dalam ingatanku, apa yang terjadi dua hari itu. Masih kuingat bagaimana makiannya akan kekesalan karena aku yang lupa akan janji untuk menemaninya makan siang dan malam, juga masih bisa kuingat dengan jelas tawa bahagianya ketika Ia kuajak makan di sebuah tempat makan Sate Padang kesukaan kami berdua. Aku juga masih ingat bagaimana Ia akhirnya menerima ajakanku untuk makan es krim meski kami berdua masih batuk-batuk.

 

Masih bisa kuingat bagaimana kami bercengkrama sepanjang Jalan Kaliurang berbicara tentang rumah-rumah baru yang muncul di daerah Pogung Baru, tempat Ia tinggal. Sebuah rumah di depan asramanya, di bekas warnet Kuntinet, dan di dekat Ishiro. Aku juga ingat wajah kesalnya yang melihat aku datang jalan kaki dan tidak membawa sepeda putihku.

 

Aku juga belum lupa diskusi kami tentang harga jual kembali laptopnya. Lengkap dengan perhitungan ekonomis nilai sisa dan probabilitas jual kembali. Akupun masih ingat frasaku berupa saran untuk membeli sebuah netbook kecil saja agar Ia merasa lebih ringan membawa alat tersebut ke kampusnya. Ia seorang mahasiswa semester 5 di Ilmu Keperawatan UGM.

 

Pesan darinya sudah ku hapus langsung setelah ku baca. Singkat padat dan jelas.

 

“Maaf San. Aku ga bisa lagi”. Senin, 12 September 2011.

 

JIka kamu bisa bayangkan apa yang saya rasakan saat membacanya, maka jangan heran jika saya sudah kehabisan kata-kata. Jika kamu tanya apa yang aku ingin lakukan, saya ingin rasanya ke Malaysia, kemudian naik ke Petronas Tower, tinggalkan semua identitas, kemudian loncat dari tempat yang paling tinggi. Haha, tapi jika itu kulakukan, maka apa bedanya dengan pacarnya yang mengancam bunuh diri jika diputuskan hubungannya?? Haha..

 

Ya.. sebenarnya dia sudah punya pacar, seorang lelaki dari jurusan Ilmu Keperawatan juga. Tapi aku tak pernah tau perasaannya yang sebenarnya kepada pacarnya tersebut. Dia pernah bilang pada pacarnya bahwa dia ingin jadi teman saja. Tapi kemudian pacarnya itu seperti kesetanan dan memukuli wajahnya sendiri… ah tak perlu dibahas..

 

Apa yang terjadi kemudian sebenarnya sudah bisa aku baca dari gelagatnya di malam itu. Terbaca dari sebuah perbincangan yang tak akan pernah aku lupakan..

 

“Bagaimana kalo kamu ketauan sama A jalan sama aku?” tanyaku.

“Ya gapapa. Kan aku ga selingkuh” jawabnya.

 

Aku sudah janji untuk ga marah dengan dia apapun yang terjadi. Kekesalan yang ada di hati ini lebih baik kusimpan malam itu ketimbang harus kuakhiri malam tersebut dengan sebuah pertengkaran. Mungkin saja dia sudah lupa apa makna harfiah dan makna prilaku dari perselingkuhan. Atau mungkin dia sudah lupa apa makna berjalan bersama dengan orang yang dicintainya.

 

Yang aku tau pasti, aku berjalan bukan dengan orang yang dulu aku cintai, dan juga bukan dengan orang yang mencintai aku dulu. Masih berusaha untuk menerima semua itu.

 

Dari sebuah obrolan dengan Ibunya di pool Putra Remaja sebelum kami berangkat ke Jogja, aku tahu Ia masih mencintai diriku. Masih menyimpan rasa yang teramat dalam untuk seorang sepertiku. Orang yang telah begitu banyak menyakiti hati dan perasaannya.

 

Kepada Ibunya juga kuungkapkan perasaanku kepada anaknya, rasa sayangku dan keinginanku untuk bersamanya lagi jika kami diberi kesempatan oleh Tuhan. Pesan Ibunya hanya satu, jangan jadi keras ketika Ia keras. Beliau pernah melihat kami ketika bertengkar, namun juga  pernah melihat bagaimana aku bisa membuat anaknya tersenyum-senyum di kala malam.

 

Dulu aku jatuh cinta kepadanya karena lehernya yang panjang, namun kini jika ditanya aku mencintainya karena dia yang mampu membuat hatiku damai. Itu saja. Tidak pernah ada alasan lain.

 

Tapi di trotoar berwarna gelap dan matahari sore yang berkilauan mega, aku putuskan satu hal.

 

She deserves a better ones.

 

Picture0092

-------------------------------------------------------

“terkadang kita berhenti berusaha untuk mendapatkan cinta orang yang kita cintai, bukan karena kita menemukan yang lain yang lebih baik, tapi karena kita sadar hatinya sudah bukan milik kita lagi”

Special thanks to Pipit Mutia Sari. You rock my life!

0 tanggapan:

The Author

My photo
God gives you two ears so we can listen not only from one side. There are many perspective, point of view, and argument that can give you insights! Perhaps! Happy reading!
Muhamad Hasan Putra

Perumahan 1. Pt. GPM
Block F. 040
Bandar Mataram, Lampung Tengah
Lampung
34169

muhamad.hasan.putra@gmail.com

FB : Muhamad Hasan Putra

Twitter : @putrahasan