the roots of education are bitter, but the fruit is sweet ~aristotle~

Thursday, May 5, 2011

Halaman Belakang (Cont’d)

Kami meletakkan sekumpulan batu-batu kerikil di taman belakang kami. Batu kerikil itu seperti batu-batu kali yang kecil-kecil dan membulat. Ayahku membentuknya menjadi sebuah lingkaran kecil yang biasanya beliau gunakan untuk berlarian di pagi hari. Kadang beliau juga mengambil saah satu batu untuk mengusir kucing yang sedang “berbuat tidak senonoh” ataupun untuk anjing liar yang mampir mencari kucing pelaku perbuatan “tidak senonoh” lainnya.

 

Rumah Ini

 

Rumah ini sudah lama berdiri. Ayah membelinya dari seorang anak pensiunan kantor pos. Penjualnya ingin pindah ke luar kota. Sebelumnya, rumah itu dikontrakkan untuk para mahasiswa di universitas kota kami. Semacam usaha sampingan mengingat penjualnya memiliki sebuah toko retail berukuran sedang hanya 3 blok dari rumah ini.

 

Rumah ini dijual karena anak pensiunan kantor pos itu bangkrut usahanya. Setahu saya, perusahaan yang beliau dirikan bangkrut karena ketidakmampuan tokonya bersaing dengan para pemilik modal yang membangun toko super megah di tengah kota. Toko itupun dilego ke orang lain dan dijadikan penyewaan internet khusus untuk online gaming.

 

Tidak murah. Itulah jawaban ayah saya setiap ditanya orang berapa harga rumah ini. Ayah memang tidak berniat menjualnya. Ayah berkilah selama pendapatannya cukup untuk menghidupi anggota rumah ini, rumah ini tidak akan dijual. Beliau memang tampaknya sudah jatuh cinta dengan rumah ini. Semenjak SMA, cerita beliau, rumah ini telah jadi incaran masa depannya.

 

Kursi Malas Adik Saya

 

Kembali ke halaman belakang rumah kami. Ini tentang bagian teras belakang.  Tempatnya dirancang Ayah senyaman mungkin. Ada kursi malas milik adik saya di ujung dekat pintu. Dia ngotot ingin membeli kursi malas dengan tabungannya. Unik sekali. Dia datang ke Ayah dan bilang, “Ayah, ini tabungan adek beliin kursi malas si Yah..”. Tabungannya hanya Rp 40.400,-. Ayah tertawa, tapi tidak menolaknya. Dia mengambil celengan tersebut dari tangan adik saya dan bilang, “Nanti ya,, nunggu Mas pulang dari sekolah. Ayah susah bawanya.”

 

Benar saja. Sepulang sekolah, saya langsung ditarik Ayah ke sebuah toko kursi. Kursi malas yang begitu empuk berwarna merah yang ditaksir Ayah. Harganya ratusan ribu. Ayah membayarnya tanpa menawar, menjengkelkan buat saya yang meski lelaki tapi menawar adalah hal yang penting dalam sebuah transaksi. Penjualnya tentu senang, namun Ayah meminta satu hal. Beliau minta cantuman harganya diganti senilai Rp 39.900,-. Aneh.

 

TBC.

0 tanggapan:

The Author

My photo
God gives you two ears so we can listen not only from one side. There are many perspective, point of view, and argument that can give you insights! Perhaps! Happy reading!
Muhamad Hasan Putra

Perumahan 1. Pt. GPM
Block F. 040
Bandar Mataram, Lampung Tengah
Lampung
34169

muhamad.hasan.putra@gmail.com

FB : Muhamad Hasan Putra

Twitter : @putrahasan