the roots of education are bitter, but the fruit is sweet ~aristotle~

Saturday, May 7, 2011

Manusia Putus Asa

Dua langkah kaki terdengar merayap menyusuri gang sempit dan gelap diantara toko-toko di kompleks perdagangan kumuh itu. Berat dan menderita. satu tangan orang itu menggaruk-garuk kepalanya. Satunya lagi tampak mengepalkan tinju sekeras-kerasnya. Matanya memerah. Perlahan-lahan terdengar isakan, terkadang diselingi eluhan. Baju birunya sudah lusuh dan kumal. Sekumal wajahnya di sore itu.

Aku tak tahu apa yang menjalari pikiran orang tersebut. Aku yang sedang duduk terdiam di pinggir trotoar menuju gang tersebut cuma bisa memasang mata. Jelas orang ini menarik perhatianku. Aku teringat pada orang-orang dalam lagu Iwan Fals berjudul Sarjana Muda. Para lelaki berbadan tegap yang tidak kunjung dapat pekerjaan. Tapi orang ini berbeda. Gaya pakaiannya bukan gaya pakaian orang yang hendak melamar pekerjaan, bukan pula mereka yang baru saja dipecat dari pekerjaan, sebagaimana biasa digambarkan dalam sinetron-sinetron di televisi.



Wajah pucatnya bukan wajah orang yang sakit. Sepucat itu tapi saya yakin dia tidak sakit secara jasmani. Pucatnya memelas namun badannya segar dan tegap. Hanya jalannya saja yang mulai lunglai. Dan akhirnya dia duduk bersandar di dinding selatan gang tersebut.

Kuberanikan diri berjalan ke dalam gang tersebut. Dalam kantungku kuselipkan Sebungkus Sampoerna Mild dan korek api batangan, siapa tahu orang ini membutuhkan. Perlahan, aku berjalan menyusuri gang tersebut, hanya untuk melihat sekilas wajah pucat pasinya. Aku ingin membaca wajahnya.

Berjarak 2 langkah dari orang itu, tiba-tiba ia menyelonjorkan kakinya. Aku kaget, tapi kucoba kusembunyikan kekagetanku. Ia kemudian menyapa,

“Mengapa memperhatikan saya, Mas?”

Aku tersentak. Ia tahu aku sedari tadi memperhatikannya. Padahal tidak sekilaspun aku melihat ia menolehkan mata ke arahku.

“Orang-orang seperti saya ini tidak pantas diperhatikan Mas. Entah oleh sesama rakyat jelata, ataupun oleh orang-orang di atas kita.”

Terlanjur mendengar Ia berbicara, akupun menyelonjorkan kakiku dan duduk berlawanan (berhadap-hadapan) di sampingnya.

“Boleh saya minta rokoknya?”

Aku mengangguk dan kukeluarkan dari sakuku rokok tersebut. Aku tidak tahu darimana dia tahu saya membawa rokok.

“Saya tidak merokok, tapi saya sedang ingin melepas penat. Masnya namanya siapa?” Ujarnya sambil menghidupkan rokok.

Indra, jawabku. “Kalau sampeyan siapa?” Tanyaku balik.

“Noto”. Jawabnya singkat. “Kita ini manusia baik-baik. Orang Indonesia itu ramah-ramah, baru kenal sudah bisa dimintai rokok. Asal tahu diri, Orang Indonesia itu semuanya terhormat.”

“Masnya masih muda. Jangan merokok. Nanti ketagihan. Kasian yang nunggu di rumah.”

Saya mengangguk. Saya sebenarnya tidak merokok. Tapi entah kenapa tadi saya punya gambaran untuk membeli rokok. Hanya perasaan saja. Dan entah kenapa saya turuti.

“Hidup itu , Mas ya, relatif apa kata orang Mas, Ada yang bilang hidup itu cuma sementara. Jadi harus kita nikmatin mumpung bisa. Ada yang bilang hidup itu cinta, jadi kita ngurudin cinta dan lain lain definisi hidup yang entah orang dapat darimana. Menjengkelkan buat saya mendengar semua cara mereka mendapati definisi kerelatifan itu. Kalo boleh saya bilang, njuk ngopo tho yo sibuk nyari definisi hidup. Golek’I kono tho yo di KBBI tho eneng.”

saya tersenyum, “Kadang kan orang butuh prinsip Mas Noto, kalau mereka ingin hidup dengan berdasarkan definisi dari kerelatifan arti hidup buat mereka apa salahnya?”

“Tidak salah,” jawabnya. “Yang saya jengkelkan cuma apakah mereka telah mengalami hidup yang sebenarnya sehingga bisa mendifinisikan hidup berdasarkan kerelatifan pandangan mereka itu?”

“Wah kalo itu saya tidak tahu Mas, kalo yang mengucap arti hidup itu adalah seorang BJ Habibie ataupun Sudjiwo Tedjo mungkin bisa juga dibilang oke, tapi kalo anak SMA ataupun remaja labil yang diputus pacarnya, hahahaha” Saya mencoba mencairkan diskusi dadakan tersebut.

Dia tersenyum.

“Kalau bagi saya, hidup itu Mas, dua hal yang paling penting. Pertama, hidup itu mau mendengar dan mau didengar, buat apa kita hidup lama-lama tapi kita cuma mau didengar. Kita dikasih kuping dua oleh Tuhan agar kita lebih banyak mendengarkan orang lain. Mendapatkan ilmu, memahami amanah, dan terlebih adalah mengerti perasaan orang lain. Yang kedua bagi saya Mas, hidup itu bersikap adil terhadap orang lain. Yah semua orang ingin mendapat perlakuan adil dari orang lain. Tapi perlu dong kita paham, kita sudah belum berbuat adil terhadap orang lain. Termasuk di dalamnya adalah belajar bahwa orang tidak bisa kita nilai dari masa lalunya. Bersikap hati-hati itu boleh, tapi tidak mengeneralisasikan seluruh kehidupan mereka akan begitu.”

Aku tidak paham apa yang ia bicarakan, tampaknya ia mulai memanas.

“Haha, suatu hari nanti masnya pasti ngerti. Yasudah, saya harus pergi ke tempat lain. Terima kasih sudah mau mendengarkan, Juga rokoknya.”

Dia menjabat tangan saya, dan kemudian melangkah dengan lebih segar ke arah cahaya. Tampaknya memang benar orang butuh untuk didengar dan orang juga butuh untuk mendengar. Senang rasanya bisa mendengarkan pengalaman hidup orang seperti itu.

Dari tempatnya duduk, ada secarik kertas terjatuh di sana, Sepertinya ini kepunyaan Mas Noto. Tapi bagaimana dia tidak tahu hal itu. Tadi aku jelas melihat dia sempat membersihkan celananya sebelum pergi, dan pasti jelas melihat ke arah tempatnya duduk. Kuambil kertas tersebut. Tintanya sudah meleleh ke bawah. Jelas basah terkena air. Karena tidak kotor kupikir ini air mata Mas Noto, tangisan yang membuat matanya memerah tadi.

Tak sanggup aku membaca tulisan tersebut. Kasian Mas Noto. Dihakimi atas masa lalunya.

Pertama, hidup itu mau mendengar dan mau didengar, buat apa kita hidup lama-lama tapi kita cuma mau didengar. Kita dikasih kuping dua oleh Tuhan agar kita lebih banyak mendengarkan orang lain. Mendapatkan ilmu, memahami amanah, dan terlebih adalah mengerti perasaan orang lain. Yang kedua bagi saya Mas, hidup itu bersikap adil terhadap orang lain. Yah semua orang ingin mendapat perlakuan adil dari orang lain. Tapi perlu dong kita paham, kita sudah belum berbuat adil terhadap orang lain. Termasuk di dalamnya adalah belajar bahwa orang tidak bisa kita nilai dari masa lalunya. Bersikap hati-hati itu boleh, tapi tidak mengeneralisasikan seluruh kehidupan mereka akan begitu

0 tanggapan:

The Author

My photo
God gives you two ears so we can listen not only from one side. There are many perspective, point of view, and argument that can give you insights! Perhaps! Happy reading!
Muhamad Hasan Putra

Perumahan 1. Pt. GPM
Block F. 040
Bandar Mataram, Lampung Tengah
Lampung
34169

muhamad.hasan.putra@gmail.com

FB : Muhamad Hasan Putra

Twitter : @putrahasan