Surat Terbuka Untuk Presiden
Oleh:
Yesayas Oktovianus
Sebagai anak bangsa, kegembiraan saya mungkin sama persis dengan apa yang Bapak Presiden rasakan dalam menikmati keberhasilan tim nasional sepak bola kita menembus final Piala Suzuki AFF. Sudah pasti tidak ada seorang pun masyarakat di Tanah Air yang tidak gembira dengan keberhasilan Firman Utina dan kawan-kawan melalap Malaysia, Laos, Thailand, dan Filipina di stadion kebanggaan kita, Gelora Bung Karno.
Terlepas dari kesuksesan itu, mungkin kita perlu sedikit menengok ke belakang sekadar merenungi sekaligus mengoreksi lagi: Apa betul kita pantas tenggelam dalam euforia begitu dahsyat, dan mungkin berlebihan, meski tim kesayangan kita belum juara? Pertanyaan berikut: Bila pun juara, apakah kita pantas berpuas diri?
Sebagai salah satu wartawan senior yang berkecimpung dalam peliputan sepak bola selama lebih kurang 26 tahun, saya melihat kita ini bagaikan "bangsa yang baru melek sepak bola". Padahal, PSSI kita berdiri tahun 1930 dan sejak tahun 1952 telah menjadi anggota FIFA.
Dalam usia sangat matang itu, sepantasnya kita ini tidak lagi "bermain prestasi" di tingkat regional (ASEAN). Piala AFF dan SEA Games bukanlah ajang yang tepat untuk memperlihatkan prestasi sepak bola kita. Kita ini pantasnya ada di kelompok Asia dan dunia.
Saya coba sedikit bernostalgia. Tahun 1985, tim nasional kita yang ditangani Pelatih Sinyo Aliandoe dan diperkuat, antara lain, Herry Kiswanto, Rully Neere, Zulkarnaen Lubis, dan kiper Hermansyah, menjadi juara Sub-Grup IIIB Asia. Saat itu, tinggal selangkah lagi menembus Piala Dunia Meksiko 1986.
Sayang, langkah Herry Kiswanto dan kawan-kawan digagalkan oleh Korea Selatan, dengan kekalahan bagi kita, 0-2, di Seoul, dan 1-4 di Jakarta.
Dua puluh lima tahun kemudian, sepak bola kita masih jalan di tempat atau bahkan mengalami degradasi. Korsel sudah lebih dari sekali melaju ke putaran final Piala Dunia (PD). Pada PD Afsel, pertengahan tahun ini, Korsel menembus babak 16 besar. Hal itu berarti generasi Korsel di Afsel 2010 adalah generasi baru yang tidak terlibat dalam kekalahan tim nasional kita tahun 1985. Berarti dalam 25 tahun (1985-2010) sepak bola kita "tidur dalam mimpi kosong".
Kita punya SDM (baca: pemain) yang mumpuni serta masyarakat pencinta timnas dan sepak bola. Akan tetapi, kita tidak memiliki pengurus (PSSI) yang profesional, kapabel, jujur, bekerja transparan, dan loyal. Yang ada di PSSI hanya sekelompok orang yang "berdagang", memolitisasi sepak bola serta hanya beretorika, tetapi tidak sanggup berbuat sesuatu yang membanggakan sepak bola kita.
Perbaikan total
Saat ini, biarlah kita semua menikmati kegembiraan kesuksesan timnas. Namun, jangan sampai kegembiraan kita ini menutupi semua kegagalan PSSI dalam satu dekade terakhir. Bukan rahasia bahwa PSSI telah gagal dan harus ada perbaikan total.
Sebagai wartawan senior yang pernah terlibat dalam liputan di PSSI dalam empat kepengurusan (Kardono, Azwar Anas, Agum Gumelar, dan Nurdin Halid), saya memohon Bapak Presiden agar lebih terlibat langsung membenahi karut-marut yang terjadi di PSSI.
Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang, Jawa Timur, Maret 2010 yang diprakarsai oleh Bapak Presiden untuk menelurkan sebuah perubahan besar di sepak bola, ternyata TIDAK menghasilkan apa-apa! Sampai detik ini, PSSI pun tidak menjalankan kewajiban mereka dalam Tujuh Butir Rekomendasi KSN. Poin pertama rekomendasi, yaitu PSSI perlu segera melakukan reformasi dan restrukturisasi, tidak digubris.
Yang dilakukan PSSI seusai KSN Malang adalah meniup "angin surga" kepada semua komponen dan komunitas sepak bola nasional. Janji-janji manis yang berbuah racun terus diembuskan PSSI. Pengurus menjadikan PSSI sebagai "kerajaan kecil" milik mereka dan tidak boleh ada orang lain yang ikut campur, bahkan Presiden sekalipun. Bagi mereka, presidennya adalah Sepp Blatter.
Sebagai sebuah organisasi sepak bola nasional yang diakui pemerintah (karena itu yang diharuskan FIFA), PSSI tidak bisa berdiri bebas tanpa mengindahkan instruksi pemerintah. Untuk itu, dalam hal ini, pemerintah pantas mengoreksi PSSI.
Kembali ke soal Rekomendasi KSN Malang: Sudahkan PSSI mereformasi diri dan melakukan restrukturisasi? Kalau belum, dan mungkin tidak akan pernah, apakah ini bukan sebuah pembangkangan terhadap instruksi Presiden?
Dalam memutar kompetisi Liga Super Indonesia dan Divisi Utama, PSSI memakai dana pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lewat klub. Sesuai semangat profesionalisme yang diusung FIFA, semua kompetisi profesional di setiap negara tidak boleh atau dilarang menggunakan dana pemerintah.
Oleh PSSI, kompetisi LSI dan Divisi Utama diperbolehkan memakai dana APBD dan sesuai Kemendagri, dana APBD hanya boleh digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembinaan sepak bola amatir. Namun, sejak tahun 2005, dana APBD dipakai klub profesional.
Untuk itu, sebagai anak bangsa yang prihatin, saya memohon Bapak Presiden segera menghentikan penggunaan dana APBD oleh 18 klub LSI ditambah 36 klub Divisi Utama. Dengan asumsi, setiap klub LSI mendapat Rp 20 miliar dan klub Divisi Utama Rp 10 miliar, berarti tiap tahun mereka menghabiskan Rp 720 miliar.
Padahal, kalau angka itu dialokasikan tepat sasaran untuk membangun infrastruktur serta pembinaan pemain usia muda, sudah pasti dalam periode lima sampai 10 tahun ke depan kita memiliki sejumlah stadion megah dan tidak terhitung berapa pemain berkualitas yang dapat diandalkan bagi timnas, tanpa perlu menaturalisasi.
Semoga tindak lanjut Bapak Presiden atas surat terbuka ini dapat menjadi setitik air sejuk dalam dahaga kemenangan dan keberhasilan timnas menatap masa depan.... Bravo Indonesia!
Sumber : Kompas Cetak
Yesayas Oktovianus
Sebagai anak bangsa, kegembiraan saya mungkin sama persis dengan apa yang Bapak Presiden rasakan dalam menikmati keberhasilan tim nasional sepak bola kita menembus final Piala Suzuki AFF. Sudah pasti tidak ada seorang pun masyarakat di Tanah Air yang tidak gembira dengan keberhasilan Firman Utina dan kawan-kawan melalap Malaysia, Laos, Thailand, dan Filipina di stadion kebanggaan kita, Gelora Bung Karno.
Terlepas dari kesuksesan itu, mungkin kita perlu sedikit menengok ke belakang sekadar merenungi sekaligus mengoreksi lagi: Apa betul kita pantas tenggelam dalam euforia begitu dahsyat, dan mungkin berlebihan, meski tim kesayangan kita belum juara? Pertanyaan berikut: Bila pun juara, apakah kita pantas berpuas diri?
Sebagai salah satu wartawan senior yang berkecimpung dalam peliputan sepak bola selama lebih kurang 26 tahun, saya melihat kita ini bagaikan "bangsa yang baru melek sepak bola". Padahal, PSSI kita berdiri tahun 1930 dan sejak tahun 1952 telah menjadi anggota FIFA.
Dalam usia sangat matang itu, sepantasnya kita ini tidak lagi "bermain prestasi" di tingkat regional (ASEAN). Piala AFF dan SEA Games bukanlah ajang yang tepat untuk memperlihatkan prestasi sepak bola kita. Kita ini pantasnya ada di kelompok Asia dan dunia.
Saya coba sedikit bernostalgia. Tahun 1985, tim nasional kita yang ditangani Pelatih Sinyo Aliandoe dan diperkuat, antara lain, Herry Kiswanto, Rully Neere, Zulkarnaen Lubis, dan kiper Hermansyah, menjadi juara Sub-Grup IIIB Asia. Saat itu, tinggal selangkah lagi menembus Piala Dunia Meksiko 1986.
Sayang, langkah Herry Kiswanto dan kawan-kawan digagalkan oleh Korea Selatan, dengan kekalahan bagi kita, 0-2, di Seoul, dan 1-4 di Jakarta.
Dua puluh lima tahun kemudian, sepak bola kita masih jalan di tempat atau bahkan mengalami degradasi. Korsel sudah lebih dari sekali melaju ke putaran final Piala Dunia (PD). Pada PD Afsel, pertengahan tahun ini, Korsel menembus babak 16 besar. Hal itu berarti generasi Korsel di Afsel 2010 adalah generasi baru yang tidak terlibat dalam kekalahan tim nasional kita tahun 1985. Berarti dalam 25 tahun (1985-2010) sepak bola kita "tidur dalam mimpi kosong".
Kita punya SDM (baca: pemain) yang mumpuni serta masyarakat pencinta timnas dan sepak bola. Akan tetapi, kita tidak memiliki pengurus (PSSI) yang profesional, kapabel, jujur, bekerja transparan, dan loyal. Yang ada di PSSI hanya sekelompok orang yang "berdagang", memolitisasi sepak bola serta hanya beretorika, tetapi tidak sanggup berbuat sesuatu yang membanggakan sepak bola kita.
Perbaikan total
Saat ini, biarlah kita semua menikmati kegembiraan kesuksesan timnas. Namun, jangan sampai kegembiraan kita ini menutupi semua kegagalan PSSI dalam satu dekade terakhir. Bukan rahasia bahwa PSSI telah gagal dan harus ada perbaikan total.
Sebagai wartawan senior yang pernah terlibat dalam liputan di PSSI dalam empat kepengurusan (Kardono, Azwar Anas, Agum Gumelar, dan Nurdin Halid), saya memohon Bapak Presiden agar lebih terlibat langsung membenahi karut-marut yang terjadi di PSSI.
Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang, Jawa Timur, Maret 2010 yang diprakarsai oleh Bapak Presiden untuk menelurkan sebuah perubahan besar di sepak bola, ternyata TIDAK menghasilkan apa-apa! Sampai detik ini, PSSI pun tidak menjalankan kewajiban mereka dalam Tujuh Butir Rekomendasi KSN. Poin pertama rekomendasi, yaitu PSSI perlu segera melakukan reformasi dan restrukturisasi, tidak digubris.
Yang dilakukan PSSI seusai KSN Malang adalah meniup "angin surga" kepada semua komponen dan komunitas sepak bola nasional. Janji-janji manis yang berbuah racun terus diembuskan PSSI. Pengurus menjadikan PSSI sebagai "kerajaan kecil" milik mereka dan tidak boleh ada orang lain yang ikut campur, bahkan Presiden sekalipun. Bagi mereka, presidennya adalah Sepp Blatter.
Sebagai sebuah organisasi sepak bola nasional yang diakui pemerintah (karena itu yang diharuskan FIFA), PSSI tidak bisa berdiri bebas tanpa mengindahkan instruksi pemerintah. Untuk itu, dalam hal ini, pemerintah pantas mengoreksi PSSI.
Kembali ke soal Rekomendasi KSN Malang: Sudahkan PSSI mereformasi diri dan melakukan restrukturisasi? Kalau belum, dan mungkin tidak akan pernah, apakah ini bukan sebuah pembangkangan terhadap instruksi Presiden?
Dalam memutar kompetisi Liga Super Indonesia dan Divisi Utama, PSSI memakai dana pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lewat klub. Sesuai semangat profesionalisme yang diusung FIFA, semua kompetisi profesional di setiap negara tidak boleh atau dilarang menggunakan dana pemerintah.
Oleh PSSI, kompetisi LSI dan Divisi Utama diperbolehkan memakai dana APBD dan sesuai Kemendagri, dana APBD hanya boleh digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembinaan sepak bola amatir. Namun, sejak tahun 2005, dana APBD dipakai klub profesional.
Untuk itu, sebagai anak bangsa yang prihatin, saya memohon Bapak Presiden segera menghentikan penggunaan dana APBD oleh 18 klub LSI ditambah 36 klub Divisi Utama. Dengan asumsi, setiap klub LSI mendapat Rp 20 miliar dan klub Divisi Utama Rp 10 miliar, berarti tiap tahun mereka menghabiskan Rp 720 miliar.
Padahal, kalau angka itu dialokasikan tepat sasaran untuk membangun infrastruktur serta pembinaan pemain usia muda, sudah pasti dalam periode lima sampai 10 tahun ke depan kita memiliki sejumlah stadion megah dan tidak terhitung berapa pemain berkualitas yang dapat diandalkan bagi timnas, tanpa perlu menaturalisasi.
Semoga tindak lanjut Bapak Presiden atas surat terbuka ini dapat menjadi setitik air sejuk dalam dahaga kemenangan dan keberhasilan timnas menatap masa depan.... Bravo Indonesia!
0 tanggapan:
Post a Comment