the roots of education are bitter, but the fruit is sweet ~aristotle~

Saturday, March 19, 2011

Culture Makes Almost All the Difference


David Landes

 
Jika melihat dari perkembangan para imigran minoritas di berbagai belahan dunia, mulai dari Asia Tenggara hingga Afrika Barat, maka Max Weber benar. Budayalah yang memberikan banyak pengaruh dalam perkembangan perekonomian. Pertanyaannya mengapa tidak konsisten? Cina contohnya, sukses di luar negaranya, namun sempat terpuruk sama sekali di Cina daratan. Seorang ekonom membantahnya dengan menyatakan bahwa budaya tak bisa kita gunakan untuk memprediksi hasil perekonomian. Tapi apa yang kemudian membedakan antara Jepang dan Negara lain setelah perang dunia kedua?
Penjelasannya bukan sekedar satu penyebab. Ada hubungan antar faktor-faktor pendukung yang sifatnya jamak dan saling berhubungan. Katakanlah masyarakat Cina, mereka mungkin tidak bisa berkembang di dalam negeri karena sifat pemerintahnya yang begitu tertutup dan banyak aturan. Ketika mereka mencari kesempatan di tempat lain, mereka berhasil. Pembuktian lain bisa dilihat sekarang, ketika Cina membuka pintu selebar-lebarnya demi kemajuan negaranya, Cina segera menjadi fenomena kemajuan perekonomian.
Contoh lain bagaimana budaya berjalan bersama dengan performa perekonomian adalah Thailand. Kini masyarakat Thailand mencoba menyinergikan antara kehidupan spiritual dengan kehidupan material. Pergi berlatih di kuil selama beberapa minggu, belajar agama dan kehidupan spiritual, sebelum kemudian kembali untuk bekerja demi kehidupan. Makna waktu telah menjadi relatif. Tinggal memilih mana yang akan menjadi prioritas. Kebalikannya adalah masyarakat Rusia, masyarakat ini telah lama dijejali dengan ideologi-ideologi sosialis komunis, yang akhirnya malah membawa Rusia ke dalam kemunduran perekonomian.
Bernard Lewis mengungkapkan dalam observasinya, ketika orang menyadari sesuatu berjalan dengan tidak semestinya, ada dua pertanyaan yang orang bisa kemukakan. Pertanyaan pertama, “Apa yang kesalahan yang kita lakukan?” dan yang kedua, “Siapa yang melakukan ini kepada kita?” Kalimat terakhir menuju pada sebuah bentuk pemikiran akan adanya teori konspirasi dan ke-paranoid-an. Sedangkan kalimat yang kedua mengalir ke bentuk pemikiran yang lain, “Bagaimana cara membenahinya?” Pertengahan abad ke-20, Amerika Latin memilih konspirasi teori dan ke-paranoid-an. Jepang memilih “Bagaimana kita membenahinya?” di pertengahan abad ke-19.
Restorasi Jepang dimulai1867-1868. Setelah mundurnya era Shogun yang sering bersikap sewenang-wenang, Royal Family pun kembali ditempatkan sebagai penguasa tertinggi Jepang. Namun, masalah tak berhenti pada pergantian penguasa saja. Kehadiran orang-orang asing di Jepang tidak dapat diterima dengan ramah. Banyak perselisihan terjadi antara warga pribumi Jepang dengan pendatang asing. Jepang cepat sadar, apakah mereka akan tetap berselisih, atau ikut masuk ke dalam era modernisasi. Jepang memilih opsi kedua, modernisasi pun dimulai. Pemerintah Jepang mempekerjakan ahli-ahli dari luar Jepang untuk bekerja dan membangun Jepang, sementara mahasiswa-mahasiswa Jepang dikirim ke Eropa dan Amerika untuk belajar. Perubahan dimulai dengan memasukkan konsep militer Prancis ke militer Jepang, sebelum akhirnya beralih ke Jerman akibat kekalahan Prancis atas Prussia tahun 1870-1871.
Tak hanya di bidang militer, konsep industrialisasi dan perundang-undangan Inggris juga diadaptasi oleh Jepang. Untuk sistem birokrasi, Jepang, lewat Okubo Toshimichi, mengorientasikan penataan ala Jerman, yang realistis dan pragmatis, untuk fokus membangun kekuatan secara nasional. Sekolah dibangun, pendidikan disalurkan, namun penghormatan terhadap kaisar tetap dilakukan. Inilah kunci terhadap identitas nasional Jepang dan perkembangan dan kemajuan mereka.
Itu semua belum cukup rupanya. Untuk terus bertahan dalam kemajuan dan perekonomian modern, mereka harus menguasai pekerjaan-pekerjaan berat (alat dan tipenya) seperti mesin pabrik dan kendaraan, hingga anjungan kapal laut. Pastinya, semua faktor dari yang sifatnya teknis hingga manajerial dilaksanakan dengan tertata rapi, dimana pemerintah memainkan peran yang sangat penting di sini. Mulai dari mengatur sumber daya yang ada, hingga merangkul masyarakat yang belum merasakan peran dalam kemajuan bangsanya. Kunci yang dimiliki Jepang adalah rasa tanggung jawab yang intens terhadap pihak lain. Pekerjaan yang egois dan berantakan hanya akan merugikan keluarga dan Negara. Nilai-nilai ini ditanamkan begitu kuat, mulai dari sekolah dasar.
Max Weber, lewat essainya “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”, sebuah keyakinan dalam Kristen Protestan yang mendorong kemajuan kapitalisme modern. Pokok esainya menyampaikan hubungan antara agama yang dipeluk dengan performa kerja seseorang.

4 tanggapan:

Dandy Memar said...

mata gua pedih ngebacanya -_____-

Muhamad Hasan Putra said...

Ini bahasan kuliah.. dasarnya elu aja ah..

Dandy Memar said...

tulisannya woy,kecil banget --"

Muhamad Hasan Putra said...

pencet ctrl-+ dong ah..

The Author

My photo
God gives you two ears so we can listen not only from one side. There are many perspective, point of view, and argument that can give you insights! Perhaps! Happy reading!

Archive

Muhamad Hasan Putra

Perumahan 1. Pt. GPM
Block F. 040
Bandar Mataram, Lampung Tengah
Lampung
34169

muhamad.hasan.putra@gmail.com

FB : Muhamad Hasan Putra

Twitter : @putrahasan